Sebelum kita membahas apa itu budaya, akan lebih
baiknya jika kita mengetahui apa itu budaya dan apa artinya.
Kebudayaan = Cultuur (Bahasa Belanda) = Culture
(Bahasa Inggris) berasal dari bahasa latin “Colere” yang berarti mengolah,
mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau
bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai “Segala daya dan
aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam”.
Dilihat dari Bahasa Indonesia, Kebudayaan berasal
dari bahasa Sansekerta “Buddhiyah”, yaitu bentuk jamak dari budhhi yang berarti
budi atau akal. Dalam studi Antropologi dan Sosiologi akan ditemukan sejumlah
pengertian kebudayaan yang sering berbeda satu dengan yang lainnya.
Sebagai contoh, Selo Sumarjan dan Sulaiman Sumardi,
sebagaimana dikutip oleh Oemar Hamalik merumuskan bahwa kebudayaan adalah hasil
karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan
kebudayaan kebendaan; rasa meliputi jiwa manusia yang diwujudkan dalam
norma-norma dan nilai-nilai; dan cipta merupakan pikiran orang-orang dalam
hidup bermasyarakat.
Melville J.Herskovits dan Bronislaw Malinowski
mengemukakan istilah Cultural-Determinism yaitu, segala sesuatu yang ada di
Masyarakat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat itu sendiri. Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun menurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Andreas Eppink
berpendapat bahawa,kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai dan norma
sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan pengertian nilai dan norma sosial,
ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan
lain-lain, serta segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri
khas suatu masyarakat.
Nah, setelah mengetahui apa itu arti dari kebudayaan
diatas. Sekarang kita berlanjut untuk membahas tentang budaya yang sedang HOT
di kalangan para remaja dan anak-anak. Sebagian remaja mengenal tentang Budaya
Jepang melalui Anime, Manga (komik khas jepang), Cosplay (Dandan ala karakter),
Idol Grup (grup idola yang berisi beberapa member) bahkna tak jarang pula yang
mengetahui tentang Industri Dewasa Jepang seperti J*V dan H*NT*I (If You Know
What I Mean) LoL.
Ngomongin tentang desain karakter dalam Anime dan
Manga sekarang ini telah berkembang yang namanya Cosplay yang berarti menirukan
gaya berpakaian para karakter di anime atau manga. Tak cuman pakaian, gaya
rambut, tingkah laku, bahkan raut wajah sampai di tiru. Tak jarang ada yang
rela melakukan operasi plastik demi mirip dengan karakter idolanya. Para
Cosplayer(orang yang bercosplay) biasanya tak segan merogoh kocek besar demi
penampilannya. Cosplay bahkan juga telah dilombakan di berbagai tempat,
contohnya seperti AFA (Anime Festival Asia) yaitu gelaran festival Anime dan
Manga se asia, dan belum lama ini digelar di indonesia, tepatnya di JCC.
Disana, para cosplayer unjuk gigi mengadu kreatifitas mereka dalam melakukan
cosplaying. Di AFA, tak hanya ada para cosplayer, disana juga ada beberapa
kreator manga dan anime terkenal, mereka disana akan menyapa para fans dan tak
lupa memberikan tanda tangan sebagai kenang kenangan.
Anime dan Manga juga telah merembet ke industri
hiburan dan permainan, buat para kolektor mainan, banyak karakter anime dan
manga yang telah dijadikan action figure, salah satu produsen action figure
terkenal adalah nendoroid, walaupun harga yang dipatok sangat tinggi untuk
sebuah action figure nendoroid, remaja di indonesia, khususnya di jakarta tak
keberatan merogoh kocek demi mengoleksi sebuah atau beberapa nendoroid. Kalau
ngomongin masalah anime dan manga, pasti ga ada habis2nya deh hehe :D
Buat gue sendiri jujur gue juga fans Anime dan Manga
bahkan Light Novel juga. Manga bikin gue hobi nggambar sejak dulu, bahkan
menyamai level author terkenal seperti (Eichiro Oda dan Masashi Kishimoto) tapi
bohong sih :D , Baiklah guys kita kembali ke topik tentang apa itu kebudayaan
populer jepang.
Budaya populer Jepang
merupakan sebuah budaya yang berasal dari Jepang yang diakui, dinikmati,
disebarluaskan dan merupakan jalan hidup mayoritas masyarakat Jepang secara
umum. Budaya populer Jepang seperti fashion dan drama TV kini telah
memasuki kawasan Asia secara mendalam. Dimulai dari animasi hingga idola,
budaya muda Jepang telah menciptakan sekelompok orang yang lebih sering disebut
sebagai penggemar di dalam kawasan Asia. Manga yang juga merupakan
bagian dari budaya populer Jepang seperti animasi, karakter, permainan
komputer, fashion, musik pop, dan drama TV merupakan berbagai variasi
dari budaya populer Jepang yang telah diterima dengan baik di bagian timur dan
tenggara Asia. Namun semua itu tidak seperti apa yang telah diulas dalam media.
Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa ekspor dari
budaya populer Jepang merupakan suatu fenomena yang baru. Budaya itu sendiri
telah lama berkembang di luar Jepang dan terutama di bagian timur dan tenggara
Asia setidaknya sejak akhir tahun 1970-an. Animasi dan komik Jepang seperti Doraemon,
sebuah cerita fantasi yang memperkenalkan robot berbentuk seperti kucing yang
dapat membuat keinginan dari anak-anak menjadi kenyataan, hal ini telah menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari bagi anak-anak hampir di seluruh bagian dari
Asia.
Bagaimanapun juga akhir-akhir ini, penyebarluasan
budaya populer Jepang di bagian timur dan tenggara Asia telah maju ke tahap
yang lebih lanjut. Industri media Jepang dan industri media Asia lainnya secara
sistematis dan kolaboratif mempromosikan budaya populer Jepang sebagai sebuah konsumsi
yang rutin bagi kalangan muda secara luas di berbagai macam pasar di bagian
timur dan tenggara Asia. Banyak kalangan muda yang merasakan simpati yang lebih
intensif terhadap roman yang diceritakan dalam drama TV Jepang, atau dengan
fashion terbaru, gaya musik populer yang trendi, atau dengan gosip mengenai
bintang idola Jepang daripada yang mereka rasakan terhadap bagian dari budaya
populer Amerika yang telah lama mendominasi dunia budaya kalangan muda.
Ada 3 hal budaya populer Jepang yg terkenal di Dunia
:
Manga
atau yang lebih dikenal dengan komik dalam bahasa Indonesia merupakan suatu
media yang di dalamnya terdapat sekumpulan gambar yang mengandung cerita yang
bermacam-macam variasinya. Pada umumnya manga dicetak dalam warna hitam-putih
dan terkadang ada beberapa bagian yang dicetak berwarna. Di Jepang, manga pada
umumnya dicetak dalam majalah yang berukuran sebesar buku telepon dan sering
terdiri dari berbagai cerita yang bersambung pada episode berikutnya. Di Indonesia
sendiri ada Dua penerbit manga terbesar yaitu Elex Media Komputindo dan m&c
Comics yang merupakan bagian dari kelompok Gramedia. Sekitar tahun 2005,
kelompok Gramedia juga telah menghadirkan Level Comics yang lebih berfokus pada
penerbitan manga-manga bergenre Seinen (Dewasa). Seiring dengan perkembangan
teknologi informasi maka manga tidak hanya bisa dinikmati dalam bentuk buku
saja, namun juga dapat dibaca melalui situs tertentu menggunakan internet.
Manga yang dibaca melalui internet tersebutlah yang kemudian disebut dengan manga scan. Manga scan diproduksi
melalui proses yang disebut Scanlation (scanning, translation
and editing) yaitu suatu proses memindai halaman per halaman dari
manga yang telah diterbitkan di Jepang. Setiap naskah halaman yang berbahasa
Jepang tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau bahasa
lainnya sesuai dengan keinginan, lalu melalui proses penyuntingan untuk
meningkatkan kualitas gambar. Scanlation muncul secara bertahap seiring
dengan meningkatnya jumlah orang yang mempunyai akses internet dan didukung
oleh peranti lunak untuk melakukan editing gambar dan pendistribusian
data. Pada awalnya, manga scan dimulai karena kurangnya akses terhadap manga di
luar Jepang. Selain karena faktor biaya yang mahal karena manga harus di impor
terlebih dahulu baru dapat dinikmati di negara selain Jepang, faktor waktu juga
menjadi masalah karena para penggemar manga di luar Jepang seperti Indonesia
tidak dapat langsung menikmati manga-manga baru yang diterbitkan di Jepang.
Anime
(アニメ) adalah produksi
animasi Jepang yang menampilkan hasil gambar animasi melalui tangan maupun
komputer. Istilah anime merupakan bahasa serapan dari bahasa Inggris “animation”.
Dalam bahasa Inggris, istilah ini didefinisikan sebagai penyebarluasan gaya
animasi Jepang yang pada umumnya dicirikan dengan grafis yang warna-warni,
karakter yang bersemangat dan tema yang terkadang tidak masuk akal. Terkadang
arti yang diinginkan dari istilah ini bervariasi tergantung dari konteks yang
dibahas. Secara umum anime pada awalnya dikenal sejak tahun 1917, dan banyak
animasi asli Jepang yang diproduksi pada dekade-dekade setelahnya namun
karakteristik gaya anime mulai dikembangkan pada tahun 1960 – yang ditandai
dengan karya Osamu Tezuka – dan mulai dikenal di luar Jepang pada tahun
1980-an. Seperti halnya manga, anime juga memiliki audiens yang besar di Jepang
dan juga diakui di seluruh dunia. Distributor dapat menayangkan anime melalui
siaran TV, secara langsung ke video ataupun dengan teater maupun secara online.
Baik dengan gambar tangan ataupun animasi komputer, keduanya digunakan dalam
serial TV, film, video, video games, iklan, dan internet rilis. Seiring dengan
meningkatnya pasar anime di Jepang, anime juga mendapatkan popularitas di timur
dan tenggara Asia. Saat ini anime populer di berbagai daerah di seluruh dunia.
Cosplay
(コスプレ Kosupure?) adalah
kata-kata Bahasa Jepang yang dibuat dari menggabungkan dua kata dari Bahasa Inggris
(wasei-eigo) "costume" dan "play". Cosplay
merupakan sebuah pertunjukan seni di mana para pesertanya menggunakan kostum
dan aksesori yang menunjukkan secara spesifik suatu karakter atau ide. Pada
umumnya cosplay mengacu pada manga dan anime, komik, manhwa,
video games, penyanyi dan musisi, serta film. Istilah cosplay
diciptakan oleh Nov Takahashi pada tahun 1984 ketika menghadiri sebuah konvensi
sci-fi di Los Angeles. Takahasi terinspirasi dari costume masquerade
dan menulisnya dalam majalah sci-fi Jepang yang kemudian menyebar dengan
cepat di Jepang sebagai sebuah pertunjukan seni yang baru. Tidak sedikit orang
yang beranggapan bahwa cosplay berasal dari Jepang, namun pada
kenyataannya hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Forrest J. Ackerman
menginspirasi fan-costuming di seluruh dunia ketika pertama kali
mengenakan kostum futuristik yang dibuat oleh Myrtle R. Douglas pada konvensi
dunia pertama dalam bidang Science Fiction pada tahun 1939 di Caravan
Hall, New York. sejak saat itu istilah cosplay telah menyebar ke
negara-negara di seluruh dunia seperti Filipina, Cina, Italia, Perancis, Meksiko,
Brazil, Rusia, Kanada, dan negara-negara lainnya. Meskipun banyak negara yang
berhasil menghasilkan kreasi-kreasi yang hebat dalam kostum namun Jepang
merupakan negara eksportir terbesar dalam hal cosplay yang berkualitas.
Jepang berhasil membawa cosplay ke tingkat yang baru di mana Jepang
berhasil mengubahnya ke dalam bentuk seni yang menginspirasi para cosplayer
di seluruh dunia.
Populernya anime dan manga juga
membuat rasa ketertarikan masyarakat Indonesia terhadap Jepang meningkat.
Tentunya ini bukan hal yang seluruhnya buruk karena rasa ketertarikan dapat
memberikan nilai yang positif pada hubungan antar negara, namun harus
diperhatikan lagi bahwa ketertarikan ini menyebabkan masyarakat—terutama
kalangan muda—lebih tertarik dengan budaya Jepang daripada budaya Indonesia
sendiri. Acara-acara bertemakan Jepang pun marak bermunculan dengan kegiatan
seperti lomba cosplay dan menggambar manga. Di kehidupan
sehari-hari, gaya rambut hingga makanan Jepang pun mulai digemari oleh
masyarakat bahkan dianggap lebih superior oleh sebagian. Pengaruh
kebudayaan ini pun terasa dalam bidang akademis yang pada Seminar Hasil Penelitian
Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia (UI) di Auditorium Pusat Studi Jepang
(PSJ) tanggal 12 September 2009 dikemukakan hasil penelitian yang mengejutkan
bahwa banyak skripsi mahasiswa—terutama dari program studi Jepang—yang hasilnya
menunjukkan pola pikir yang terhegemoni budaya Jepang. Pengaruh kebudayaan
Jepang yang disebarkan melalui anime dan manga sudah merasuk
di berbagai segi kehidupan masyarakat Indonesia. Karena itu, diperlukan filterisasi
terhadap budaya Jepang dan penguatan terhadap budaya lokal agar masyarakat
tidak terhegemoni.
Penyebaran anime dan manga Jepang
yang telah meluas di Indonesia menjadi media penyebaran budaya Jepang. Cerita
dalam anime dan manga tersebut menarik, ringan, dan menggambarkan Jepang
dengan kebudayaannya yang baik dan indah. Sehingga akan mudah diterima, melekat
dan berbaur dengan budaya Indonesia dan tidak menyulitkan pembaca untuk
memahami informasi yang terdapat dalam komik tersebut. Penyebaran budaya Jepang
ini menjadi sebuah popular culture dalam masyarakat Indonesia. Komik
telah menjadi sebuah rutinitas membaca anak-anak dan remaja Indonesia. Disetiap
toko buku dan acara televisi akan diterbitkan dan disiarkan anime dan manga
Jepang tersebut.
Segala bentuk budaya dalam anime dan manga, juga
dijadikan sebagai trend oleh para remaja Indonesia dalam berpakaian,
yang dituangkan dalam sebuah cosplay. Cosplay yang berasal
dari kata costum play, merupakan sebuah seni berpakaian dalam
masyarakat Jepang. Namun saat ini telah menjadi sebuah budaya baru di
Indonesia. Pertunjukan cosplay dimana setiap orang menunjukkan kostum
yang merupakan karakteristik tokoh dalam manga yang sesuai dengan dirinya.
Penampilan, pakaian, dan gaya rambut akan mengikuti sama dengan tokoh manganya.
Cosplay ini biasanya diikuti oleh para remaja yang memang penggemar
dari manga atau bentuk budaya Jepang lainnya. Pertunjukkan cosplay ini
pun tidak hanya diadakan sekali, tetapi rutin akan berpindah dari setiap kota
di Indonesia.
Hal-hal tersebut merupakan bentuk keminatan
masyarakat Indonesia terhadap budaya Jepang. Anime dan manga
ini sudah menjadi sebuah popular culture, bahkan sampai mendunia.
Budaya lokal Indonesia menjadi tertutupi dengan munculnya anime dan manga
ini. Budaya lokal Indonesia, seperti wayang, telah kalah bersaing dalam
menarik perhatian masyarakatnya sendiri. Budaya asing yang masuk ke Indonesia,
khususnya budaya Jepang, akan cepat diterima karena penyebaran budaya yang
dilakukanya dengan cara yang sederhana, yaitu melalui anime dan manga.
Hal ini menjadikan budaya Jepang mendominasi dari budaya lokal Indonesia.
Dominasi Jepang terhadap budaya Indonesia menjadi sebuah ciri hegemonisasi yang
dilakukan Jepang.
Media massa yang menjadi tempat penyampaian
informasi dapat berfungsi politik bagi pemerintah sebagai alat hegemoninya
terhadap negara lain. Dominasi budaya Jepang terhadap budaya Indonesia menjadi soft
power Jepang dalam rangka melakukan hegemoninya di Indonesia. Hal ini akan
meningkatkan power Jepang dan meningkatkan pembangunan dalam negerinya.
Masyarakat Indonesia secara tidak sadar telah dihegemoni dengan cara yang halus
dan sederhana oleh negara sakura tersebut. Indonesia yang juga memiliki
kebudayaan yang beragam tidak mampu bersaing dengan kebudayaan Jepang. Hal ini
patut menjadi suatu perhatian bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk
tetap melestarikan kebudayaan yang kita miliki.
Latar belakang berkembangnya kebudayaan populer
Jepang tidak bisa terlepas dari perkembangan teknologi informasi yang begitu
pesat saat ini. Jepang sebagai salah satu negara yang memimpin dalam bidang
teknologi berhasil memanfaatkan peluang ini untuk menguatkan hegemoni kepentingan
mereka, terutama pada bidang kebudayaan populer. Perkembangan teknologi
informasi inilah yang kemudian menjadi sebab Jepang mengeluarkan sebuah
kebijakan bernama Joho Shakai. Joho Shakai dapat diartikan
sebagai “the information intellegence society”, masyarakat cerdas dengan
akses yang luas terhadap informasi. Masyarakat Jepang memahami betul akan
kegunaan intelegency melalui pendidikan formal maupun non-formal, sehingga
wujud pada kebijakan ini adalah pendidikan yang merata bagi semua warga Jepang,
dari kelas apapun tanpa terkecuali. Joho Shakai pada akhirnya membuat
Jepang berhasil mewujudkan sebuah tatanan masyarakat informasi yang
berintelegensi dan mampu menghadapi segala tantangan era informasi, daripada
proses berkelanjutan yang dibangun dalam perkembangan dunia teknologi dan
komunikasi yang mengalir begitu cepat.
Karena sebab kemajuan teknologi dan kapasitas
produksinya, Jepang menemukan sebuah masalah baru, sebuah narsisme budaya,
kalau bisa dikatakan, karena dua hal yang telah disebutkan sehingga mereka
merasa mengalami apa yang dinamakan sebagai “superiority complex” diatas bangsa
Asia yang lain. Dalam wacana ini, pemerintah Jepang melakukan beberapa hal
untuk dapat mengusai pasar industri kreatif. Langkah pertama adalah menjadikan industri teknologi komunikasi informasi
sebagai national goal yang harus dicapai secara berkelanjutan.
Kedua, mengadopsi budaya asing
untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakatnya dengan artian,
Jepang melakukan penyerapan budaya asing untuk dipadukan dengan budaya asli
mereka, sehingga mereka menciptakan sebuah produk budaya kontemporer baru yang
siap untuk dipasarkan bahkan di luar bangsa Jepang. Ketiga, melakukan kerjasama atau pembelian perangkat lunak
penyiaran Jepang. Akibatnya, hal ini nampak pada indeks
daya kompetitif industri ICT International tahun 2007 yang menempatkan
Jepang di peringkat kedua setelah Amerika dengan overral index score
mencapai 72.7 dan peringkat pertama pada R & D Envinroinment di atas
negara-negara maju lainnya.
Secara garis besar dan secara umum, hal inilah yang menjadi substansi untuk
memahami betapa Jepang berhasil mendominasi industri kreatif lokal dengan
kebudayaan yang sama sekali berbeda dengan kebudayaan Indonesia. Jepang berhasi
menguasai pasar industri kreatif melalui beberapa kali tahapan yang
berkesinambungan sejak tahun 1980 hingga dekade tahun 2000 ke atas dengan
segala produknya seperti anime, manga, cosplay, lagu,
drama, hingga fashion dan model. Di Indonesia, atau mungkin bahkan di beberapa
negara lainnya, Jepang berhasil menggeser posisi Amerika dengan Cartoon
yang mereka miliki sebelum era Anime Jepang. Pada akhirnya, penetrasi
budaya menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan dan Jepang secara umum berhasil
mendominasi pasar industri kreatif di Indonesia. Sekali lagi, pada akhirnya,
diplomasi menjadi bahasa yang menarik untuk mengkaji hegemoni dan dominasi
suatu negara terhadap negara lainnya.
Kebanyakan penelitian tentang budaya populer Jepang di luar negeri terdiri
dari sejumlah studi kasus yang berisi anekdot-anekdot dengan kecenderungan
untuk memberikan hak istimewa kepada teks tersebut beserta hal-hal yang
digambarkannya. Hal ini sebagian dapat dimengerti, karena ketertarikan terhadap
sebuah disiplin khusus dalam akademik dan kurangnya informasi empiris yang comprehensif
dalam bidang ini. Terbitan yang diedit oleh Timothy J. Craig yang
berjudul Japan Pop! Inside the World of Japanese Popular Culture (2000),
merupakan contoh yang bagus. Buku ini mendiskusikan kesuksesan budaya populer
Jepang di tahun 1990-an. Dalam tiga belas artikel terdepan terdapat analisa
tekstual tentang musik Jepang, komik, animasi, program televisi, dan film-film,
sementara empat artikel terakhir mendiskusikan tentang disseminasi komik,
animasi dan artis-artis pop Jepang di luar negeri.Contoh yang menarik lainnya adalah terbitan yang diedit oleh John Lent, Asian Popular Culture (1995), dan yang diedit oleh Timothy J. Craig dan Richard King, Global Goes Local: Popular Culture in Asia (2002). Buku-buku ini memuat analisa-analisa tentang produk-produk khusus dari budaya populer Jepang dan pangsanya, mengamati konteks-konteks dalam isi cerita, praktek, dan arti sosial secara luas. Contohnya dalam Asian Popular Culture, Ron Tanner mengamati pembuatan mainan animasi, proses ekspor ke Amerika, dan bagaimana mainan tersebut merefleksikan “kecenderungan negara (Jepang), paling tidak agenda pemerintah” dalam upaya untuk masa depan yang lebih cerah (100). Dalam edisi yang sama, Ito Kinko mempertanyakan tentang arti majalah komik mingguan di Jepang, di sini dia berargumen bahwa “ majalah komik merefleksikan kenyataan sosial tentang pekerjaan dan peran wanita, struktur kekuatan jender, dan standar ganda” (134). Sama halnya dalam Global Goes Local, Mark Mac Williams berpendapat bahwa komik terkenal Hi no tori (The Phoenix) karangan Osamu Tezuka secara tersirat merupakan “revisi dari kepercayaan orang Jepang“ . Ada banyak contoh lain seperti trend-trend ini yang telah diterbitkan. Seperti tulisan-tulisan penting oleh Martinez 1998; Mori 2004; Otake dan Hosokawa 1998; Achodt 1996; dan Treat 1996.
Dalam menjelaskan keberhasilan budaya populer Jepang di Asia Timur dan Tenggara (tidak di Amerika atau Eropa), beberapa orang berpendapat bahwa “cultural proximity” (kedekatan budaya) menentukan jalanya penyebaran aliran budaya, atau “Asian fragrance” (keharuman Asia) yang dengan mudah bergema dikalangan konsumen lokal. Menurut pendapat ini, penyebaran budaya merupakan geo-kultural dan tidak hanya antar negara. Tulisan-tulisan tentang drama TV Jepang di Asia Timur dan Tenggara, Iwao Sumiko memperkenalkan konsep “shared sensibilities” (perasaan besama) (1994: 74), Honda Shino menulis “East Asian psyche”(Jiwa Asia Timur) (1994 : 76), dan Igarashi Akio menulis “cultural sensibility” (perasaan budaya) (1997 : 11). Walaupun sebenarnya “kedekatan budaya” ini tidak dapat dijelaskan, contohnya mengapa kalangan pemuda Taiwan memilih untuk membeli produk-produk Jepang dari pada Cina, atau mengapa pelajar-pelajar Thailand lebih suka mendengarkan musik Amerika, yang secara nyata tidak dekat secara budaya.
Beberapa orang lain berpendapat bahwa produk-produk budaya populer Jepang “tidak bermuka” (faceless) (seperti tulisan Alison 2000; Shiraisi 2000). Ini karena daya tarik budaya populer Jepang yang bersifat tidak nasional dan karenanya sangat mudah untuk di-transfer, sehingga budaya tersebut tidak bisa dikenali lagi sebagai budaya orang Jepang. Memang sangatlah sulit untuk melihat ciri khas Jepang pada karakter animasi Hello Kitty, Doraemon, atau Poke’mon, ataupun bagaimana melihat sebuah pesan budaya yang mungkin terbawa oleh produk-produk tersebut yang diterima oleh konsumen-konsumen di Asia.
Sementara itu, konsumen-konsumen di Asia Timur dan Tenggara sepertinya mampu mengenali produk-produk budaya yang berasal dari Jepang. Ketikan melakukan sejumlah interpretasi dari survey questioner dengan 239 mahasiswa dari universitas di Hongkong, Bangkok dan Seoul 1, salah kesan terkuat yang saya lihat adalah bahwa kebanyakan mampu mengidentifikasi animasi, musik, dan komik-komik yang berasal dari Jepang, walaupun produk-produk tersebut telah dialih bahasakan dengan bahasa lokal. Mereka juga mampu membedakan mana yang merupakan produk asli yang diimpor dan mana yang imitasi buatan lokal diantara produk-produk budaya populer Jepang. Dalam konteks ini, “bau ke-Jepang-an” dari barang barang tersebut mungkin terletak pada penampakan tertentu yang pengelompokannya dapat diasosiasikan dengan “Jepang” yang dapat dikenali dan dihargai oleh konsumennya, daripada isinya yang berupa budaya yang berbau “Asia”.
Tulisan Iwabuchi Koichi (2002; 2004) memberikan pendekatan baru, seseorang yang menginterpretasikan manifestasi kegiatan-kegiatan budaya Jepang dalam sebuah dinamika budaya yang lebih luas. Iwabuchi adalah seorah pioner dalam penelitian budaya populer Jepang di Asia Timur dan Asia Tenggara, dan hasil kerjanya memberikan banyak bukti tentang popularitas drama televisi Jepang di Taiwan, Hongkong, Bangkok, Korea Selatan, dan Cina daratan. Dia berpendapat bahwa konsep “cultural proximity” (kedekatan budaya) tidak selalu memberikan penjelasan tentang konsumsi budaya populer Jepang. Dia berargumen bahwa produk budaya populer Jepang mewakili ide-ide “modern” yang menjadi pilihan para konsumen.
Dalam bukunya Recentering Globalization (2002), Iwabuchi meletakkan kebangkitan kekuatan budaya Jepang sejalan dengan process globalisasi. Argumen dasar yang dia pakai adalah ekspansi budaya Jepang ke Asia di tahun 1990-an berhubungan dengan kekuatan desentralisasi dari hubungan global-lokal. Dalam pandangan Iwabuchi, perusuhaan-perusahaan media Jepang telah mengekpor pengalaman Jepang dalam penyebaran budaya barat di Asia (20). Dengan demikian orang-orang di Asia tidak lagi mengkonsumsi “Barat” tetapi versi yang dilokalisasi atau gabungan dari keduanya (105).
Oke Guys mari sekarang kita bahas soal masyarakat
penggemar anime dan manga disebut apa di dunia ini. Yupz pasti kalian sudah
tidak asing dengan nama OTAKU kan?? Pengertian dari Otaku (おたく) adalah istilah bahasa jepang yang digunakan untuk menyebut
orang yang betul-betul menekuni hobi atau kata ganti orang kedua yang
paling sopan dalam bahasa Jepang baku, setara dengan kata "Anda"
dalam bahasa Indonesia.
Sejak paruh
kedua dekade 1990-an, istilah Otaku mulai dikenal di luar Jepang untuk menyebut
penggemar berat subkultur asal Jepang seperti Anime dan Manga, bahkan ada
orang yang menyebut dirinya sebagai Otaku."
link
wiki http://id.wikipedia.org/wiki/Otaku
Tapi guys
jangan pernah berbangga menyebut diri anda Otaku di Jepang sana yaa, karena
disana konotasinya negatif dalam arti bukan negatif karena kriminal tapi
melainkan orang yang terlalu menekuni hobinya. Semoga kita bisa ke Jepang :D :D
Berikut saya
bertanya kepada orang-orang sekitar dan pendapat mereka tentang pengaruh
kebudayaan jepang terhadap Indonesia :
1.
Kebudayaannya
sangat cepat. (Fajar-FISIP I.KOM semester 1)
2.
Positifnya Mempercepat
globalisasi dan modernisasi di Indonesia dan Negatifnya banyak orang yang
sekarang perlahan melupakan budaya indonesia dan mengarah ke jepang.
(Analieza-FISIP HI semester 1)
3.
Terjadi
timbal balik yang baik bagi Indonesia, sebab terjadi kedua kebudayaan yang
saling menguntungkan bagi dua negara tersebut. Disisi kepopuleran budaya jepang
di Indonesia,memberikan pandangan yang signifikan bagi masyarakat indonesia
untuk lebih mencintai budaya sendiri dan bisa mengembangkan budaya indonesia
menjadi populer seperti budaya jepang. (Yustian-HUKUM semester 7)
4.
Tidak
masalah kebudayaan jepang populer di Indonesia dan banyak remaja yang
menggandrunginya. Asalkan mereka juga tidak serta merta melunturkan budaya
luhur indonesia sebagai jati diri mereka. (Aditya Haris-FISIP HI semester 1)
5.
Kebudayaan
Jepang sudah semakin menjamur,itu terbukti dengan banyaknya J-Fest yang di
ikuti oleh berbagai kalangan (Wina-Management semester 3)
6. Menurut saya yang juga penggiat Pop Culture Jepang, sudah sangat berkembang walaupun perkembangan tersebbut menimbulkan sebubabh konflik dimanakonflik tersebut biasanya terjadi antar komunitas penggiat itu sendiri., di perkembangan ini juga timbul kesenjangan sosial, kurang rasa toleransi,dan rasa menghormati yang bertolak belakang dengan norma budaya indonesia itu sendiri karena biasanya para penggiat baru memiliki percaya diri yang bebbsar agar dapat diterima di komunitasnya (Prasetya-FISIP HI semester 1)
Nah dari semua pembicaraan diatas kita tahu bahwa hegemoni Jepang begitu besar terhadap Indonesia bahkan dunia sekalipun, bolehlah kita mengidolakan orang" luar negeri dan sebagainya tapi yang perlu di ingat kita tidak bboleh melupakan tentang budaya dan peradababan di Indonesia juga Guys!!!
6. Menurut saya yang juga penggiat Pop Culture Jepang, sudah sangat berkembang walaupun perkembangan tersebbut menimbulkan sebubabh konflik dimanakonflik tersebut biasanya terjadi antar komunitas penggiat itu sendiri., di perkembangan ini juga timbul kesenjangan sosial, kurang rasa toleransi,dan rasa menghormati yang bertolak belakang dengan norma budaya indonesia itu sendiri karena biasanya para penggiat baru memiliki percaya diri yang bebbsar agar dapat diterima di komunitasnya (Prasetya-FISIP HI semester 1)
Nah dari semua pembicaraan diatas kita tahu bahwa hegemoni Jepang begitu besar terhadap Indonesia bahkan dunia sekalipun, bolehlah kita mengidolakan orang" luar negeri dan sebagainya tapi yang perlu di ingat kita tidak bboleh melupakan tentang budaya dan peradababan di Indonesia juga Guys!!!
Hi! Nice article! Bagaimana menurut Mas Dana mengenai fenomena panggilan 'Wibu' di Indonesia yang diartikan sebagai orang yang suka membicarakan Jepang. Nah, lalu apakah dengan menulis artikel tentang Jepang itu artinya kita adalah Wibu? Penyebutan wibu sering menjadi perdebatan :/ ありがとうございます!
BalasHapusPada dasarnya fenomena Wibu itu bukanlah seperti orang mengatakan hal berbau Jepang langsung bisa di sebut Wibu. Wibu sendiri istilahnya sudah freak bisa di bilang semua yg di lakuin atas nama jepang,apa-apa harus jepang jadi aga radikal mungkin :D
Hapussaya sendiri tidak merasa over seperti itu jadi tentu saja saya bukan WIBU hahaha