Sabtu, 24 Oktober 2015

Budaya sebagai perubah peradaban

Sebelum kita membahas apa itu budaya, akan lebih baiknya jika kita mengetahui apa itu budaya dan apa artinya.
Kebudayaan = Cultuur (Bahasa Belanda) = Culture (Bahasa Inggris) berasal dari bahasa latin “Colere” yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai “Segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam”.
Dilihat dari Bahasa Indonesia, Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “Buddhiyah”, yaitu bentuk jamak dari budhhi yang berarti budi atau akal. Dalam studi Antropologi dan Sosiologi akan ditemukan sejumlah pengertian kebudayaan yang sering berbeda satu dengan yang lainnya.
Sebagai contoh, Selo Sumarjan dan Sulaiman Sumardi, sebagaimana dikutip oleh Oemar Hamalik merumuskan bahwa kebudayaan adalah hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan; rasa meliputi jiwa manusia yang diwujudkan dalam norma-norma dan nilai-nilai; dan cipta merupakan pikiran orang-orang dalam hidup bermasyarakat.
Melville J.Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan istilah Cultural-Determinism yaitu, segala sesuatu yang ada di Masyarakat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat itu sendiri. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun menurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Andreas Eppink berpendapat bahawa,kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai dan norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan pengertian nilai dan norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, serta segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Nah, setelah mengetahui apa itu arti dari kebudayaan diatas. Sekarang kita berlanjut untuk membahas tentang budaya yang sedang HOT di kalangan para remaja dan anak-anak. Sebagian remaja mengenal tentang Budaya Jepang melalui Anime, Manga (komik khas jepang), Cosplay (Dandan ala karakter), Idol Grup (grup idola yang berisi beberapa member) bahkna tak jarang pula yang mengetahui tentang Industri Dewasa Jepang seperti J*V dan H*NT*I (If You Know What I Mean) LoL.
Ngomongin tentang desain karakter dalam Anime dan Manga sekarang ini telah berkembang yang namanya Cosplay yang berarti menirukan gaya berpakaian para karakter di anime atau manga. Tak cuman pakaian, gaya rambut, tingkah laku, bahkan raut wajah sampai di tiru. Tak jarang ada yang rela melakukan operasi plastik demi mirip dengan karakter idolanya. Para Cosplayer(orang yang bercosplay) biasanya tak segan merogoh kocek besar demi penampilannya. Cosplay bahkan juga telah dilombakan di berbagai tempat, contohnya seperti AFA (Anime Festival Asia) yaitu gelaran festival Anime dan Manga se asia, dan belum lama ini digelar di indonesia, tepatnya di JCC. Disana, para cosplayer unjuk gigi mengadu kreatifitas mereka dalam melakukan cosplaying. Di AFA, tak hanya ada para cosplayer, disana juga ada beberapa kreator manga dan anime terkenal, mereka disana akan menyapa para fans dan tak lupa memberikan tanda tangan sebagai kenang kenangan.
Anime dan Manga juga telah merembet ke industri hiburan dan permainan, buat para kolektor mainan, banyak karakter anime dan manga yang telah dijadikan action figure, salah satu produsen action figure terkenal adalah nendoroid, walaupun harga yang dipatok sangat tinggi untuk sebuah action figure nendoroid, remaja di indonesia, khususnya di jakarta tak keberatan merogoh kocek demi mengoleksi sebuah atau beberapa nendoroid. Kalau ngomongin masalah anime dan manga, pasti ga ada habis2nya deh hehe :D
Buat gue sendiri jujur gue juga fans Anime dan Manga bahkan Light Novel juga. Manga bikin gue hobi nggambar sejak dulu, bahkan menyamai level author terkenal seperti (Eichiro Oda dan Masashi Kishimoto) tapi bohong sih :D , Baiklah guys kita kembali ke topik tentang apa itu kebudayaan populer jepang.

Budaya populer Jepang merupakan sebuah budaya yang berasal dari Jepang yang diakui, dinikmati, disebarluaskan dan merupakan jalan hidup mayoritas masyarakat Jepang secara umum. Budaya populer Jepang seperti fashion dan drama TV kini telah memasuki kawasan Asia secara mendalam. Dimulai dari animasi hingga idola, budaya muda Jepang telah menciptakan sekelompok orang yang lebih sering disebut sebagai penggemar di dalam kawasan Asia. Manga yang juga merupakan bagian dari budaya populer Jepang seperti animasi, karakter, permainan komputer, fashion, musik pop, dan drama TV merupakan berbagai variasi dari budaya populer Jepang yang telah diterima dengan baik di bagian timur dan tenggara Asia. Namun semua itu tidak seperti apa yang telah diulas dalam media.
Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa ekspor dari budaya populer Jepang merupakan suatu fenomena yang baru. Budaya itu sendiri telah lama berkembang di luar Jepang dan terutama di bagian timur dan tenggara Asia setidaknya sejak akhir tahun 1970-an. Animasi dan komik Jepang seperti Doraemon, sebuah cerita fantasi yang memperkenalkan robot berbentuk seperti kucing yang dapat membuat keinginan dari anak-anak menjadi kenyataan, hal ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bagi anak-anak hampir di seluruh bagian dari Asia.
Bagaimanapun juga akhir-akhir ini, penyebarluasan budaya populer Jepang di bagian timur dan tenggara Asia telah maju ke tahap yang lebih lanjut. Industri media Jepang dan industri media Asia lainnya secara sistematis dan kolaboratif mempromosikan budaya populer Jepang sebagai sebuah konsumsi yang rutin bagi kalangan muda secara luas di berbagai macam pasar di bagian timur dan tenggara Asia. Banyak kalangan muda yang merasakan simpati yang lebih intensif terhadap roman yang diceritakan dalam drama TV Jepang, atau dengan fashion terbaru, gaya musik populer yang trendi, atau dengan gosip mengenai bintang idola Jepang daripada yang mereka rasakan terhadap bagian dari budaya populer Amerika yang telah lama mendominasi dunia budaya kalangan muda.
Ada 3 hal budaya populer Jepang yg terkenal di Dunia :
Manga atau yang lebih dikenal dengan komik dalam bahasa Indonesia merupakan suatu media yang di dalamnya terdapat sekumpulan gambar yang mengandung cerita yang bermacam-macam variasinya. Pada umumnya manga dicetak dalam warna hitam-putih dan terkadang ada beberapa bagian yang dicetak berwarna. Di Jepang, manga pada umumnya dicetak dalam majalah yang berukuran sebesar buku telepon dan sering terdiri dari berbagai cerita yang bersambung pada episode berikutnya. Di Indonesia sendiri ada Dua penerbit manga terbesar yaitu Elex Media Komputindo dan m&c Comics yang merupakan bagian dari kelompok Gramedia. Sekitar tahun 2005, kelompok Gramedia juga telah menghadirkan Level Comics yang lebih berfokus pada penerbitan manga-manga bergenre Seinen (Dewasa). Seiring dengan perkembangan teknologi informasi maka manga tidak hanya bisa dinikmati dalam bentuk buku saja, namun juga dapat dibaca melalui situs tertentu menggunakan internet. Manga yang dibaca melalui internet tersebutlah yang kemudian disebut dengan manga scan. Manga scan diproduksi melalui proses yang disebut Scanlation (scanning, translation and editing) yaitu suatu proses memindai halaman per halaman dari manga yang telah diterbitkan di Jepang. Setiap naskah halaman yang berbahasa Jepang tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau bahasa lainnya sesuai dengan keinginan, lalu melalui proses penyuntingan untuk meningkatkan kualitas gambar. Scanlation muncul secara bertahap seiring dengan meningkatnya jumlah orang yang mempunyai akses internet dan didukung oleh peranti lunak untuk melakukan editing gambar dan pendistribusian data. Pada awalnya, manga scan dimulai karena kurangnya akses terhadap manga di luar Jepang. Selain karena faktor biaya yang mahal karena manga harus di impor terlebih dahulu baru dapat dinikmati di negara selain Jepang, faktor waktu juga menjadi masalah karena para penggemar manga di luar Jepang seperti Indonesia tidak dapat langsung menikmati manga-manga baru yang diterbitkan di Jepang.


Anime (アニメ) adalah produksi animasi Jepang yang menampilkan hasil gambar animasi melalui tangan maupun komputer. Istilah anime merupakan bahasa serapan dari bahasa Inggris “animation”. Dalam bahasa Inggris, istilah ini didefinisikan sebagai penyebarluasan gaya animasi Jepang yang pada umumnya dicirikan dengan grafis yang warna-warni, karakter yang bersemangat dan tema yang terkadang tidak masuk akal. Terkadang arti yang diinginkan dari istilah ini bervariasi tergantung dari konteks yang dibahas. Secara umum anime pada awalnya dikenal sejak tahun 1917, dan banyak animasi asli Jepang yang diproduksi pada dekade-dekade setelahnya namun karakteristik gaya anime mulai dikembangkan pada tahun 1960 – yang ditandai dengan karya Osamu Tezuka – dan mulai dikenal di luar Jepang pada tahun 1980-an. Seperti halnya manga, anime juga memiliki audiens yang besar di Jepang dan juga diakui di seluruh dunia. Distributor dapat menayangkan anime melalui siaran TV, secara langsung ke video ataupun dengan teater maupun secara online. Baik dengan gambar tangan ataupun animasi komputer, keduanya digunakan dalam serial TV, film, video, video games, iklan, dan internet rilis. Seiring dengan meningkatnya pasar anime di Jepang, anime juga mendapatkan popularitas di timur dan tenggara Asia. Saat ini anime populer di berbagai daerah di seluruh dunia.



Cosplay (コスプレ Kosupure?) adalah kata-kata Bahasa Jepang yang dibuat dari menggabungkan dua kata dari Bahasa Inggris (wasei-eigo) "costume" dan "play". Cosplay merupakan sebuah pertunjukan seni di mana para pesertanya menggunakan kostum dan aksesori yang menunjukkan secara spesifik suatu karakter atau ide. Pada umumnya cosplay mengacu pada manga dan anime, komik, manhwa, video games, penyanyi dan musisi, serta film. Istilah cosplay diciptakan oleh Nov Takahashi pada tahun 1984 ketika menghadiri sebuah konvensi sci-fi di Los Angeles. Takahasi terinspirasi dari costume masquerade dan menulisnya dalam majalah sci-fi Jepang yang kemudian menyebar dengan cepat di Jepang sebagai sebuah pertunjukan seni yang baru. Tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa cosplay berasal dari Jepang, namun pada kenyataannya hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Forrest J. Ackerman menginspirasi fan-costuming di seluruh dunia ketika pertama kali mengenakan kostum futuristik yang dibuat oleh Myrtle R. Douglas pada konvensi dunia pertama dalam bidang Science Fiction pada tahun 1939 di Caravan Hall, New York. sejak saat itu istilah cosplay telah menyebar ke negara-negara di seluruh dunia seperti Filipina, Cina, Italia, Perancis, Meksiko, Brazil, Rusia, Kanada, dan negara-negara lainnya. Meskipun banyak negara yang berhasil menghasilkan kreasi-kreasi yang hebat dalam kostum namun Jepang merupakan negara eksportir terbesar dalam hal cosplay yang berkualitas. Jepang berhasil membawa cosplay ke tingkat yang baru di mana Jepang berhasil mengubahnya ke dalam bentuk seni yang menginspirasi para cosplayer di seluruh dunia.


Populernya anime dan manga juga membuat rasa ketertarikan masyarakat Indonesia terhadap Jepang meningkat. Tentunya ini bukan hal yang seluruhnya buruk karena rasa ketertarikan dapat memberikan nilai yang positif pada hubungan antar negara, namun harus diperhatikan lagi bahwa ketertarikan ini menyebabkan masyarakat—terutama kalangan muda—lebih tertarik dengan budaya Jepang daripada budaya Indonesia sendiri. Acara-acara bertemakan Jepang pun marak bermunculan dengan kegiatan seperti lomba cosplay dan menggambar manga. Di kehidupan sehari-hari, gaya rambut hingga makanan Jepang pun mulai digemari oleh masyarakat bahkan dianggap lebih superior oleh sebagian. Pengaruh kebudayaan ini pun terasa dalam bidang akademis yang pada Seminar Hasil Penelitian Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia (UI) di Auditorium Pusat Studi Jepang (PSJ) tanggal 12 September 2009 dikemukakan hasil penelitian yang mengejutkan bahwa banyak skripsi mahasiswa—terutama dari program studi Jepang—yang hasilnya menunjukkan pola pikir yang terhegemoni budaya Jepang. Pengaruh kebudayaan Jepang yang disebarkan melalui anime dan manga sudah merasuk di berbagai segi kehidupan masyarakat Indonesia. Karena itu, diperlukan filterisasi terhadap budaya Jepang dan penguatan terhadap budaya lokal agar masyarakat tidak terhegemoni.
Penyebaran anime dan manga Jepang yang telah meluas di Indonesia menjadi media penyebaran budaya Jepang. Cerita dalam anime dan manga tersebut  menarik, ringan, dan menggambarkan Jepang dengan kebudayaannya yang baik dan indah. Sehingga akan mudah diterima, melekat dan berbaur dengan  budaya Indonesia dan tidak menyulitkan pembaca untuk memahami informasi yang terdapat dalam komik tersebut. Penyebaran budaya Jepang ini menjadi sebuah popular culture dalam masyarakat Indonesia. Komik telah menjadi sebuah rutinitas membaca anak-anak dan remaja Indonesia. Disetiap toko buku dan acara televisi akan diterbitkan dan disiarkan anime dan manga Jepang tersebut.
Segala bentuk budaya dalam anime dan manga, juga dijadikan sebagai trend oleh para remaja Indonesia dalam berpakaian, yang dituangkan dalam sebuah cosplay. Cosplay yang berasal dari kata costum play, merupakan sebuah seni berpakaian dalam masyarakat Jepang. Namun saat ini telah menjadi sebuah budaya baru di Indonesia. Pertunjukan cosplay dimana setiap orang menunjukkan kostum yang merupakan karakteristik tokoh dalam manga yang sesuai dengan dirinya. Penampilan, pakaian, dan gaya rambut akan mengikuti sama dengan tokoh manganya. Cosplay ini biasanya diikuti oleh para remaja yang memang penggemar dari manga atau bentuk budaya Jepang lainnya. Pertunjukkan cosplay ini pun tidak hanya diadakan sekali, tetapi rutin akan berpindah dari setiap kota di Indonesia.
Hal-hal tersebut merupakan bentuk keminatan masyarakat Indonesia terhadap budaya Jepang. Anime dan manga ini sudah menjadi sebuah popular culture, bahkan sampai mendunia. Budaya lokal Indonesia menjadi tertutupi dengan munculnya anime dan manga ini. Budaya lokal Indonesia, seperti wayang,  telah kalah bersaing dalam menarik perhatian masyarakatnya sendiri. Budaya asing yang masuk ke Indonesia, khususnya budaya Jepang, akan cepat diterima karena penyebaran budaya yang dilakukanya dengan cara yang sederhana, yaitu melalui anime dan manga. Hal ini menjadikan budaya Jepang mendominasi dari budaya lokal Indonesia. Dominasi Jepang terhadap budaya Indonesia menjadi sebuah ciri hegemonisasi yang dilakukan Jepang.
Media massa yang menjadi tempat penyampaian informasi dapat berfungsi politik bagi pemerintah sebagai alat hegemoninya terhadap negara lain. Dominasi budaya Jepang terhadap budaya Indonesia menjadi soft power Jepang dalam rangka melakukan hegemoninya di Indonesia. Hal ini akan meningkatkan power Jepang dan meningkatkan pembangunan dalam negerinya. Masyarakat Indonesia secara tidak sadar telah dihegemoni dengan cara yang halus dan sederhana oleh negara sakura tersebut. Indonesia yang juga memiliki kebudayaan yang beragam tidak mampu bersaing dengan kebudayaan Jepang. Hal ini patut menjadi suatu perhatian bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk tetap melestarikan kebudayaan yang kita miliki.
Latar belakang berkembangnya kebudayaan populer Jepang tidak bisa terlepas dari perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat saat ini. Jepang sebagai salah satu negara yang memimpin dalam bidang teknologi berhasil memanfaatkan peluang ini untuk menguatkan hegemoni kepentingan mereka, terutama pada bidang kebudayaan populer. Perkembangan teknologi informasi inilah yang kemudian menjadi sebab Jepang mengeluarkan sebuah kebijakan bernama Joho Shakai. Joho Shakai dapat diartikan sebagai “the information intellegence society”, masyarakat cerdas dengan akses yang luas terhadap informasi. Masyarakat Jepang memahami betul akan kegunaan intelegency melalui pendidikan formal maupun non-formal, sehingga wujud pada kebijakan ini adalah pendidikan yang merata bagi semua warga Jepang, dari kelas apapun tanpa terkecuali. Joho Shakai pada akhirnya membuat Jepang berhasil mewujudkan sebuah tatanan masyarakat informasi yang berintelegensi dan mampu menghadapi segala tantangan era informasi, daripada proses berkelanjutan yang dibangun dalam perkembangan dunia teknologi dan komunikasi yang mengalir begitu cepat.
Karena sebab kemajuan teknologi dan kapasitas produksinya, Jepang menemukan sebuah masalah baru, sebuah narsisme budaya, kalau bisa dikatakan, karena dua hal yang telah disebutkan sehingga mereka merasa mengalami apa yang dinamakan sebagai “superiority complex” diatas bangsa Asia yang lain. Dalam wacana ini, pemerintah Jepang melakukan beberapa hal untuk dapat mengusai pasar industri kreatif. Langkah pertama adalah menjadikan industri teknologi komunikasi informasi sebagai national goal yang harus dicapai secara berkelanjutan. Kedua, mengadopsi budaya asing untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakatnya dengan artian, Jepang melakukan penyerapan budaya asing untuk dipadukan dengan budaya asli mereka, sehingga mereka menciptakan sebuah produk budaya kontemporer baru yang siap untuk dipasarkan bahkan di luar bangsa Jepang. Ketiga, melakukan kerjasama atau pembelian perangkat lunak penyiaran Jepang. Akibatnya, hal ini nampak pada indeks daya kompetitif industri ICT International tahun 2007 yang menempatkan Jepang di peringkat kedua setelah Amerika dengan overral index score mencapai 72.7 dan peringkat pertama pada R & D Envinroinment di atas negara-negara maju lainnya.
Secara garis besar dan secara umum, hal inilah yang menjadi substansi untuk memahami betapa Jepang berhasil mendominasi industri kreatif lokal dengan kebudayaan yang sama sekali berbeda dengan kebudayaan Indonesia. Jepang berhasi menguasai pasar industri kreatif melalui beberapa kali tahapan yang berkesinambungan sejak tahun 1980 hingga dekade tahun 2000 ke atas dengan segala produknya seperti anime, manga, cosplay, lagu, drama, hingga fashion dan model. Di Indonesia, atau mungkin bahkan di beberapa negara lainnya, Jepang berhasil menggeser posisi Amerika dengan Cartoon yang mereka miliki sebelum era Anime Jepang. Pada akhirnya, penetrasi budaya menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan dan Jepang secara umum berhasil mendominasi pasar industri kreatif di Indonesia. Sekali lagi, pada akhirnya, diplomasi menjadi bahasa yang menarik untuk mengkaji hegemoni dan dominasi suatu negara terhadap negara lainnya.
Kebanyakan penelitian tentang budaya populer Jepang di luar negeri terdiri dari sejumlah studi kasus yang berisi anekdot-anekdot dengan kecenderungan untuk memberikan hak istimewa kepada teks tersebut beserta hal-hal yang digambarkannya. Hal ini sebagian dapat dimengerti, karena ketertarikan terhadap sebuah disiplin khusus dalam akademik dan kurangnya informasi empiris yang comprehensif dalam bidang ini. Terbitan yang diedit oleh Timothy J. Craig  yang berjudul Japan Pop! Inside the World of Japanese Popular Culture (2000), merupakan contoh yang bagus. Buku ini mendiskusikan kesuksesan budaya populer Jepang di tahun 1990-an. Dalam tiga belas artikel terdepan terdapat analisa tekstual tentang musik Jepang, komik, animasi, program televisi, dan film-film, sementara empat artikel terakhir mendiskusikan tentang disseminasi komik, animasi dan artis-artis pop Jepang di luar negeri.
Contoh yang menarik lainnya adalah terbitan yang diedit oleh John Lent, Asian Popular Culture (1995), dan yang diedit oleh Timothy J. Craig dan Richard King, Global Goes Local: Popular Culture in Asia (2002). Buku-buku ini memuat analisa-analisa tentang produk-produk khusus dari budaya populer Jepang dan pangsanya, mengamati konteks-konteks dalam isi cerita, praktek, dan arti sosial secara luas. Contohnya dalam Asian Popular Culture, Ron Tanner mengamati pembuatan mainan animasi, proses ekspor ke Amerika, dan bagaimana mainan tersebut merefleksikan “kecenderungan negara (Jepang), paling tidak agenda pemerintah” dalam upaya untuk masa depan yang lebih cerah (100). Dalam edisi yang sama, Ito Kinko mempertanyakan tentang arti majalah komik mingguan di Jepang, di sini dia berargumen bahwa “ majalah komik merefleksikan kenyataan sosial tentang pekerjaan dan peran wanita, struktur kekuatan jender, dan standar ganda” (134). Sama halnya dalam Global Goes Local, Mark Mac Williams berpendapat bahwa komik terkenal Hi no tori (The Phoenix) karangan Osamu Tezuka secara tersirat merupakan “revisi dari kepercayaan orang Jepang“ . Ada banyak contoh lain seperti trend-trend ini yang telah diterbitkan. Seperti tulisan-tulisan penting oleh Martinez 1998; Mori 2004; Otake dan Hosokawa 1998; Achodt 1996; dan Treat 1996.
Dalam menjelaskan keberhasilan budaya populer Jepang di Asia Timur dan Tenggara (tidak di Amerika atau Eropa), beberapa orang berpendapat bahwa “cultural proximity” (kedekatan budaya) menentukan jalanya penyebaran aliran budaya, atau “Asian fragrance” (keharuman Asia) yang dengan mudah bergema dikalangan konsumen lokal. Menurut pendapat ini,  penyebaran budaya merupakan geo-kultural dan tidak hanya antar negara. Tulisan-tulisan  tentang drama TV Jepang di Asia Timur dan Tenggara, Iwao Sumiko memperkenalkan konsep “shared sensibilities” (perasaan besama) (1994: 74), Honda Shino menulis “East Asian psyche”(Jiwa Asia Timur) (1994 : 76), dan Igarashi Akio menulis “cultural sensibility” (perasaan budaya) (1997 : 11). Walaupun sebenarnya “kedekatan budaya” ini tidak dapat dijelaskan, contohnya mengapa kalangan pemuda Taiwan memilih untuk membeli produk-produk Jepang dari pada Cina, atau mengapa pelajar-pelajar Thailand lebih suka mendengarkan musik Amerika, yang secara nyata tidak dekat secara budaya.
Beberapa orang lain berpendapat bahwa produk-produk budaya populer Jepang “tidak bermuka” (faceless) (seperti tulisan Alison 2000; Shiraisi 2000). Ini karena daya tarik budaya populer Jepang yang bersifat tidak nasional dan karenanya sangat mudah untuk di-transfer, sehingga budaya tersebut tidak bisa dikenali lagi sebagai budaya orang Jepang. Memang sangatlah sulit untuk melihat ciri khas Jepang pada karakter animasi  Hello Kitty, Doraemon, atau Poke’mon, ataupun bagaimana melihat sebuah pesan budaya yang mungkin terbawa oleh produk-produk tersebut yang diterima oleh konsumen-konsumen di Asia.
Sementara itu, konsumen-konsumen di Asia Timur dan Tenggara sepertinya mampu mengenali produk-produk budaya yang berasal dari Jepang. Ketikan melakukan sejumlah interpretasi dari survey questioner dengan 239 mahasiswa dari universitas di Hongkong, Bangkok dan Seoul 1, salah kesan terkuat yang saya lihat adalah bahwa kebanyakan mampu mengidentifikasi animasi, musik, dan komik-komik yang berasal dari Jepang, walaupun produk-produk tersebut telah dialih bahasakan dengan bahasa lokal. Mereka juga mampu membedakan mana yang merupakan produk asli yang diimpor dan mana yang imitasi buatan lokal diantara produk-produk budaya populer Jepang. Dalam konteks ini, “bau ke-Jepang-an” dari barang barang tersebut mungkin terletak pada penampakan tertentu yang pengelompokannya dapat diasosiasikan dengan “Jepang” yang dapat dikenali dan dihargai oleh konsumennya, daripada isinya yang berupa budaya yang berbau “Asia”.
Tulisan Iwabuchi Koichi (2002; 2004) memberikan pendekatan baru, seseorang yang menginterpretasikan manifestasi kegiatan-kegiatan budaya Jepang dalam sebuah dinamika budaya yang lebih luas. Iwabuchi adalah seorah pioner dalam penelitian budaya populer Jepang di Asia Timur dan Asia Tenggara, dan hasil kerjanya memberikan banyak bukti tentang popularitas drama televisi Jepang di Taiwan, Hongkong, Bangkok, Korea Selatan, dan Cina daratan. Dia berpendapat bahwa konsep “cultural proximity” (kedekatan budaya) tidak selalu memberikan penjelasan tentang konsumsi budaya populer Jepang. Dia berargumen bahwa produk budaya populer Jepang mewakili ide-ide “modern” yang menjadi pilihan para konsumen.
Dalam bukunya Recentering Globalization (2002), Iwabuchi meletakkan kebangkitan kekuatan budaya Jepang sejalan dengan process globalisasi. Argumen dasar yang dia pakai adalah ekspansi budaya Jepang ke Asia di tahun 1990-an berhubungan dengan kekuatan desentralisasi dari hubungan global-lokal. Dalam pandangan Iwabuchi, perusuhaan-perusahaan media Jepang telah mengekpor pengalaman Jepang dalam penyebaran budaya barat di Asia (20). Dengan demikian orang-orang di Asia tidak lagi mengkonsumsi “Barat” tetapi versi yang dilokalisasi atau gabungan dari keduanya (105).
Oke Guys mari sekarang kita bahas soal masyarakat penggemar anime dan manga disebut apa di dunia ini. Yupz pasti kalian sudah tidak asing dengan nama OTAKU kan?? Pengertian dari Otaku (おたく) adalah istilah bahasa jepang yang digunakan untuk menyebut orang yang betul-betul menekuni hobi atau kata ganti orang kedua yang paling sopan dalam bahasa Jepang baku, setara dengan kata "Anda" dalam bahasa Indonesia.
Sejak paruh kedua dekade 1990-an, istilah Otaku mulai dikenal di luar Jepang untuk menyebut penggemar berat subkultur asal Jepang seperti Anime dan Manga, bahkan ada orang yang menyebut dirinya sebagai Otaku."


Tapi guys jangan pernah berbangga menyebut diri anda Otaku di Jepang sana yaa, karena disana konotasinya negatif dalam arti bukan negatif karena kriminal tapi melainkan orang yang terlalu menekuni hobinya. Semoga kita bisa ke Jepang :D :D
Berikut saya bertanya kepada orang-orang sekitar dan pendapat mereka tentang pengaruh kebudayaan jepang terhadap Indonesia :
1.      Kebudayaannya sangat cepat. (Fajar-FISIP I.KOM semester 1)
2.      Positifnya Mempercepat globalisasi dan modernisasi di Indonesia dan Negatifnya banyak orang yang sekarang perlahan melupakan budaya indonesia dan mengarah ke jepang. (Analieza-FISIP HI semester 1)
3.      Terjadi timbal balik yang baik bagi Indonesia, sebab terjadi kedua kebudayaan yang saling menguntungkan bagi dua negara tersebut. Disisi kepopuleran budaya jepang di Indonesia,memberikan pandangan yang signifikan bagi masyarakat indonesia untuk lebih mencintai budaya sendiri dan bisa mengembangkan budaya indonesia menjadi populer seperti budaya jepang. (Yustian-HUKUM semester 7)
4.      Tidak masalah kebudayaan jepang populer di Indonesia dan banyak remaja yang menggandrunginya. Asalkan mereka juga tidak serta merta melunturkan budaya luhur indonesia sebagai jati diri mereka. (Aditya Haris-FISIP HI semester 1)
5.      Kebudayaan Jepang sudah semakin menjamur,itu terbukti dengan banyaknya J-Fest yang di ikuti oleh berbagai kalangan (Wina-Management semester 3)
6.   Menurut saya yang juga penggiat Pop Culture Jepang, sudah sangat berkembang walaupun perkembangan tersebbut menimbulkan sebubabh konflik dimanakonflik tersebut biasanya terjadi antar komunitas penggiat itu sendiri., di perkembangan ini juga timbul kesenjangan sosial, kurang rasa toleransi,dan rasa menghormati yang bertolak belakang dengan norma budaya indonesia itu sendiri karena biasanya para penggiat baru memiliki percaya diri yang bebbsar agar dapat diterima di komunitasnya (Prasetya-FISIP HI semester 1)


Nah dari semua pembicaraan diatas kita tahu bahwa hegemoni Jepang begitu besar terhadap Indonesia bahkan dunia sekalipun, bolehlah kita mengidolakan orang" luar negeri dan sebagainya tapi yang perlu di ingat kita tidak bboleh melupakan tentang budaya dan peradababan di Indonesia juga Guys!!!